Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, January 29, 2021

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri

DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, Pak Dosen tiba-tiba berujar: “Dulur-dulur, bahasa menunjukkan bangsa, ucapan menunjukkan pengucapnya, tulisan menunjukkan penulisnya! Menunjukkan di sini tidak berarti merujuk sepenuhnya, melainkan dapat memberikan sumber penafsiran dan pemaknaan yang memadai. Sebagai sistem tanda, tulisan—sebagaimana bahasa dan ucapan—adalah pintu untuk memahami siapa yang memproduksinya.”

Seperti biasa, meski tempatnya berpindah-pindah sesuai kesepakatan, cangkrukan harus ditemani dengan gorengan, kopi, dan teh. Kali ini bukan pisang goreng yang disuguhkan, melainkan ketela pohon goreng. Kopinya tetap, ginasthel, legi panas kenthel (manis panas dan kental). Tehnya tetap teh Mesir dan teh Aceh.

Sambil menyeruput teh Mesir, Dulgemuk menyela: “Pak Dosen, berarti suatu tulisan menunjukkan pikiran penulisnya ya? Apakah penulisnya pintar, bijaksana, sedih, bahagia, romantic, dan sebagainya—bisa dicermati dari tulisan-tulisannya, begitu ya?

Sumber gambar: Dokumen Pribadi


Pak Dosen baru saja memuji mantapnya teh Mesir buatan Dulgemuk. Dia kemudian menimpalinya: “Benar sekali, Cak Dul. Tulisan menunjukkan kualitas berpikir penulisnya. Dalam  buku Language and Mind,  Noam Chomsky membahas hubungan erat antara bahasa dan pikiran. Sederhananya, penggunaan bahasa seseorang menunjukkan pikirannya—baik isi maupun polanya.

“Dengan bahasa yang digunakan, pembaca bisa mengetahui apakah penulis memiliki kekayaan ide. Dalam memberikan alasan suatu kejadian, misalnya, penulis yang kaya ide akan menawarkan alasan yang lebih banyak dan meyakinkan—sebagai berkah dari luasnya wawasan yang dimilikinya. Dalam memberikan contoh juga demikian, penulis yang hebat tentu menyediakan contoh yang memadai.

“Sementara itu, penulis yang miskin ide—mungkin akibat kurangnya melahap bacaan—tidak cukup argumen dan elaborasi ketika menjelaskan suatu alasan atas kejadian tertentu. Dalam banyak kasus, penulis demikian menulis hanya sekadar menulis, hanya untuk memenuhi target menulisnya tanpa kedalaman dan keluasan pembahasan. Dalam banyak kasus, tulisan dari penulis semacam ini ‘cethek’ alias dangkal.”

Yu Tun: “Saya sering menemukan tulisan, judulnya kayak gagah, ternyata isinya cuma pengumuman. Isinya ga ada apa-apanya. Maaf loh ya.” Kemudian, Yu Tun menunjukkan tulisan-tulisan dari blog yang dibukanya sejak tadi.

Tacik: “Betul, Yu Tun. Aku juga sering lihat begitu. Bagaimana itu, Pak Dosen?” Dia juga menunjukkan tulisan yang sejenis, oleh penulis lain.

Dulgemuk menyela: “Tulisan yang baik harus dipuji, tulisan yang kurang baik ya bisa dikritik. Begitu kan, Pak Dosen?”

Pak Dosen: “Ya perlu diingatkan dengan cara halus, agar tidak tersinggung. Jika tidak ngreken, ya bisa diberi kritikan lewat tulisan. Itu kan demi si penulis itu sendiri. Tapi jika diingatkan dan dikritik tidak legawa, ya sudah, biarkan saja.”

“E-Ge-Pe.” Mereka kompak berteriak. E-ge-pe adalah singktan dari ‘emang gue pikirin’. Maksudnya, tak perlu dirisaukan, itu menjadi urusan dan tanggungjawab penulis bersangkutan. Angin petang berembus. Mereka merapatkan jaket. Gorengan dan minuman panas terasa pas sebagai teman cangkrukan.

Lalu Pak Dosen melanjutkan: “Selain itu, tulisan menunjukkan pola pikir penulisnya. Mulai memilih diksi dan membuat kalimat, itu sudah menunjukkan bukti apakah penulis dapat menata pikirannya dengan baik. Hubungan subjek-predikat kalimatnya jelas atau tidak, itu pertanda bagaimana tertib-tidaknya dia berpikir. Penulis yang baik akan memilih diksi dengan tepat, dan menyusun kalimatnya dengan baik dan benar.

“Penulis yang baik akan mengawal hubungan antar kalimat di dalam paragraf, serta hubungan antar paragraf di dalam tulisan panjangnya. Apakah hubungan itu menjelaskan, mengelaborasi, memberikan contoh, atau mengevaluasi, tampak jelas dalam tulisan. Penulis biasnya menggunakan kata hubung tertentu—misalnya: pertama, kedua, misalnya, dengan demikian, akhirnya, dan sebagainya.”

Dulremek: “Berarti jika tulisannya mbulet, penulisnya mbulet juga ya berpikirnya?”

Pak Dosen: “Lebih kurang begitu. Jika ada tulisan yang tertib dan enak dibaca, itu pertanda pola pikir penulisnya ya tertib, runtut, dan sistematis. Merekalah “kekasih” para editor di penerbitan, sebab editor tidak terlalu menghabiskan tenaga dan pikiran dalam menunaikan tugas editing. Sebaliknya, jika tulisan yang dihadapi bertele-tele dan tidak jelas subjek-predikatnya (run-on sentences), itu pertanda penulisnya bukan orang yang tertib dalam berpikir. Penulis mbulet semacam ini bisa membuat editor menghabiskan segenggam obat sakit kepala.”

Dulkrempeng: “Apakah tulisan juga dapat menunjukkan suasana hati dan sikap penulisnya, Pak Dosen?” Dia kelihatan penasaran. “Kalau orang pidato sukanya mencaci-maki, itu saya maknai bahwa dia sedang benci pada apa atau siapa yang dicaci-maki.”

Pak Dosen: “Betul sekali. Tulisan menunjukkan suasana dan sikap penulis. Pemilihan diksi yang digunakan adalah bukti bagaimana suasana hati dan sikapnya. Jika penulis itu seorang pendukung Manchester United, dan jika MU menang dua skor atas Real Madrid, misalnya, maka dia akan menulis begini: “MU menggilas RM 2-0”, “Gawang RM Jebol 2 oleh MU”, “RM Kiamat, Dilumat MU 2-0”. Diksi menggilas, jebol, dilumat menunjukkan fanatisme si penulis.

“Sebaliknya, ketika MU kalah 0-1 misalnya, dia akan menulis: “Sayang, MU Kalah Tipis dari MR”, “MU: 0-1 Kekalahan Kecil”, atau “Kalah 0-1, MU Belum Kiamat”. Diksi-diksi kalah tipis, kekalahan kecil, belum kiamat itu juga menunjukkan fanatisme, bahkan empati, penulisnya. Dia terkesan halus tatkala MU mengalami kekalahan. Dia memihak dan membela MU dengan segenap hatinya, sehingga pemilihan diksinya halus.”

Dulgemuk dan para jamaah Sinau Urip manggut-manggut. Selain Dulgemuk, Ning Tini adalah anggota jamaah yang suka menulis. Perbincangan dalam cangkrukan ini tak luput dari rekaman mereka. Selebihnya, masih mulai membiasakan membaca dan menulis resume.

Sejurus kemudian Pak Dosen memandangi mereka satu-persatu, lalu berujar dengan suara mantap: “Untuk membuktikan tesis yang terwakili oleh judul tulisan ini, ayo kita (kembali) buku-buku Soekarno, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma, atau buku-buku dari penulis favorit kita masing-masing. Lalu, ayo buktikan bersama benar-tidaknya tesis ‘Tulisan menunjukkan penulisnya’”.[]

Kabede Gresik, 28/01/2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

 

Thursday, January 28, 2021

Dulgemuk Berbagi (5): MOMENTUM PUBLIKASI TULISAN

Oleh Much. Khoiri 

DALAM sebuah acara bedah buku daring, Dulgemuk ikut hadir di dalamnya. Dulgemuk hadir karena pengundang dan terundang, termasuk penulis buku dan editornya, adalah para sahabat penulis yang luar biasa. Itu kesempatan emas untuk bertemu dengan komunitas penulis yang sama-sama aktif sebagai kompasianer—sebutan untuk penulis di kompasiana.com.

Kali ini buku yang dibedah adalah sebuah buku kumpulan artikel yang diposting di blog publik kompasiana.com pada tahun 2012-an, yang secara umum berisi kritik dan pandangan “penulis seniman” (ya penulis ya seniman) tentang seorang presiden kala itu. Delapan tahun artikel-artikel itu berada di dalam blog, dan sekarang dihimpun ke dalam buku. Inspirasi yang menarik, bukan?

Inspirasi apakah itu? Kata Dulgemuk, “Momentum! Ya momentum publikasi tulisan. Untuk mencapai keterbacaan yang diharapkan, momentum sangat penting untuk mempublikasikan tulisan. Jika penulis memanfaatkan momentum secara tepat, keterbacaan tulisan di kalangan pembaca akan tinggi, dan penulis pun diuntungkan. Demikian pun sebaliknya.”

Sumber gambar: Dokumen Pribadi


Dalam bedah buku tersebut, Dulgemuk memang angkat tangan untuk mengingatkan tentang pentingnya momentum tersebut. Tanpa mengurangi apresiasi Dulgemuk kepada sahabatnya atas penerbitan buku itu, Dulgemuk mengatakan bahwa penerbitan buku itu, dari artikel-artikel yang diposting delapan tahun silam, telah kehilangan momentum.

Menurut Dulgemuk, penulisan artikel-artikel tersebut bisa saja tepat momentum pada delapan tahun silam. Gagasannya tepat untuk disampaikan kepada publik pembaca saat itu, yang memang ingin menyerap informasi atau gagasan yang relevan dan updated. Saat itu artikel-artikel itu memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi—artinya, dibaca oleh banyak pembaca. Mengapa? Sekali lagi, tulisan-tulisan itu hadir pada momentum yang tepat.


Namun, ketika artikel-artikel itu dihimpun menjadi buku sekarang, buku itu agaknya sudah kehilangan momentum. Terlebih, buku itu buku bernuansa politik—yang dinamikanya sangat cepat melesat dari waktu ke waktu. Karena kehilangan momentum, andaikata dipasarkan ke publik, buku itu berkemungkinan tidak mendapat sambutan hangat. Keterbacaan buku itu akan terbatas karenanya.

Dalam pandangan Dulgemuk, ‘terbatas’ di sini bukan berarti tidak ada, bukan sama sekali. Namun, (calon) pembaca buku itu terbatas hanya pada mereka yang benar-benar sangat berminat membacanya, entah untuk keperluan akademik entah untuk menambah wawasan tentang sikap, perilaku, dan komunikasi politik seorang presiden tersebut. Bisa pula terbatas pada pengurus partai yang mendukung beliau, dalam rangka memperoleh feedback untuk kebijakan partai ke depan. Buku itu bisa jadi semacam referensi historis.

Adapun pembaca umum, dalam itung-itungan pemasaran buku, tidak akan tertarik membacanya. Pembaca umum akan mencari buku-buku yang terkini, yang memuaskan keingintahuan mereka tentang isu-isu mutakhir. Andaikata ada, pembaca akan tertarik pada buku tentang buku terkini. Lagi, semenarik apa pun sebuah isu buku, jika sudah kelewat waktunya, itu tidak akan semenarik buku-buku dengan isu mutakhir.

Dalam hal ini, Dulgemuk memberikan sedikit kiat untuk mengurangi kedaluwarsaan tulisan-tulisan dalam buku tersebut (namun hal ini tidak sempat disampaikan saat bedah buku). Pertama, setiap artikel sebaiknya dikaitkan dan dicarikan relevansinya dengan isu-isu terkini, kemudian diberikan maknanya. Dengan demikian, artikel-artikel yang ada perlu dibenahi lagi menjadi sosok yang baru, berkat tambahan data terbaru, untuk perbandingan. Dengan pembaruan isi ini, tentu akan mempengaruhi judul bukunya—perlu ditempeli pesan kekiniaannya.

Kedua, kata Dulgemuk, gagasan-gagasan dalam artikel tersebut diubah menjadi karya sastra—baik cerpen (novel), puisi, maupun drama. Jika diubah genrenya menjadi karya sastra, gagasan-gagasan artikel tersebut diyakini akan tetap baru. Sebab, karya sastra hakikatnya tidak terbatasi ruang dan waktu. Karya sastra memiliki momentum keterbacaan yang jauh lebih lama dibandingkan buku-buku non-sastra.

Akhirnya Dulgemuk berharap, “Mudah-mudahan semua ini menjadi reminder (pengingat) bagi kita penulis dalam mengelola momentum publikasi tulisan. Ini penting saya share di sini, sebab penulis tidak bisa tidak sadar dan waspada akan momentum publikasi, mengingat setiap penulis pastilah ingin mempublikasikan tulisan-tulisan mereka, guna mendapatkan keterbacaan yang terbaik.”[]

Kabede Gresik, 28-01-2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

Tuesday, January 26, 2021

Dulgemuk Berbagi (4): DULREMEK ‘NDLEMING’

Oleh Much. Khoiri 

DULGEMUK menulis di grup WA jamaah “Sinau Urip” berikut ini: “TIBA-tiba Dulremek ndleming. Ngomongnya tak terkendali, bahkan di luar kesadaran. Ada semacam sosok lain yang manjing (merasuk) dalam dirinya. Kita perlu merapat untuk merukyahnya.”

“Bagaimana kejadiannya?” respons Dulkrempeng dari Sidoarjo. Dia lagi ada urusan dengan bibit benur (udang).

“Pagi ini setelah dia membaca koran, menonton televisi, menonton youtube. Tiba-tiba tubuhnya tersandar ke dinding terasnya, dan sejurus kemudian mulutnya mulai berceloteh,” lanjut Dulgemuk. “Ini saya sudah di rumahnya.”

“Loh, kok bisa berceloteh? Apa yang dicelotehkan?” kejar Ning Tini, dari balai kota Surabaya, sebab dia baru selesai mengikuti siaran pers terkait kedatangan vaksin.

“Dik Krempeng, coba hubungi Kiai Sholeh ya,” tulis Dulgemuk lagi. “Undang beliau untuk bisa hadir ke rumah kontrakan Dik Remek. Saya akan update kondisi Dik Remek sebelum kita nanti kumpul di Te-Ka-Pe.”

Sumber gambar: Dukomen Pribadi


Dulgemuk masih menulis: “Dulremek tiba-tiba ngomong lepas begini: ‘Pandemi masih kerasan di negeri ini. Rumah sakit di zona merah tambah bed untuk pasien covid-19. Terapi plasma konvaselen hanya khusus gejala sedang dan berat. Waspadai gejala pandemic fatigue. Lalu, Semeru tertutup kabut, gempa 9 kali. Dan ini, dengar, Hongkongers bisa jadi warga Negara Inggris.”

Dlemingan Dulremek ada benarnya. Pandemi masih kerasan di negeri ini. Belum ada kabar penurunan kasus, bahkan meningkat terutama pasca liburan Nataru (natal dan tahun baru) kemarin. Dulgemuk sudah memprediksi lonjakan kasus itu. Kini sudah telanjur. Para nakes jadi stress. Vaksin-vaksin sudah dijalankan, namun tanda-tanda perbaikan belum jelas. Belum lagi, ada 34% masyarakat yang menolak divaksin.

Itulah kayaknya yang disebut pandemic fatigue.  Masyarakat mulai ‘kenyang’ atau jenuh karena setiap hari di mana pun berada mereka harus menerapkan prokes, tidak seperti kondisi normal biasanya. Karena dirundung bosan, angka penggunaan masker turun 28%, ketaatan menjaga jarak dan menghindari keurumunan pun turun 20,6%. Maklum, masyarakat lelah, tidak ada kepastian kapan pandemi akan berakhir.

[Anggota jamaah “Sinau Urip” dalam perjalanan ke rumah kontrakan Dulremek.]

Terkait dlemingan Dulremek “Hongkongers bisa jadi warga Negara Inggris”, ini berita gembira bagi Hongkongers—sebutan bagi warga Kongkong. Mengapa? Biasanya sangat sulit prosesnya.  

Lha kok ini ada kabar pemerintah Inggris akan membuka akses kewarganegaraan Inggris kepada warga pemegang visa British National Overseas (BNO), mulai 31 Januari 2021. Ini kabar menghebohkan, sebab pemegang BNO di Hongkong 4,4 juta jiwa (70% warga daerah administrative khusus itu).

Menurut Dulgemuk, akan banyak Hongkongers yang tertarik. Sebab, konflik-konflik belakangan ini dengan pemerintah China, adalah bukti ketidaksukaan Hongkongers selama ini. Pada saat integrasi Hongkong ke mainland China tahun 1997, sebenarnya sudah ada bibit-bibit konflik itu, meski tokoh politik meyakinkan banyak harapan. Tahun 1996, menjelang integrasi, Dulgemuk ada di Hong Kong, menyaksikan proses politik menjelang integrasi lewat berbagai media saat dia mengikuti Summer Institute in American Studies.

Sekarang Dulgemuk menulis lagi: “Dulremek masih berceloteh. Katanya, tambahan vaksin sudah terkirim ke daerah, termasuk Surabaya. Jadi, tak usah rebutan. Vaksinasi tidak untuk penyintas covid-19. Selain itu, ehm, pemohon paspor turun drastic. Ini pula, penumpang turun 75 persen. Ehm, apa ya, polisi kejar aktor pembuat hoaks, kerahkan dua tim siber.”

[Anggota jamaah “Sinau Urip” yang dalam perjalanan ke rumah kontrakan Dulremek saling memberikan kabar. Mereka sudah mendekati alamat tujuan. Ada yang naik gojek/grab, sepeda motor pribadi, ada juga yang naik taksi.]

Dulgemuk masih meng-update kondisi Dulremek: “Aman, aman, aman!” celoteh Dulremek, tangannya memberikan isyarat. “Jangan khawatir soal vaksin. Vaksin dulu para nakes, biar mereka sehat. Mereka kan pejuang garda depan, harus sehat, dan jangan sampai berguguran lebih dulu. Penyintas covid juga gak perlu divaksin. Mereka kebal, antibodinya sudah kuat. Prioritas yang lemah dan potensi kena covid. Untuk yang melawan, ancam dengan hukum. Jangan lunak, jangan lemes, harus tegas. Kalau tidak tegas, percuma saja divaksin. Biar jadi herd community.”

“Pemohon paspor turun ya babah, ya biarlah, sementara jangan keluyuran ke luar negeri. Penumpang juga turun 75%, artinya hanya 25% yang bepergian. Teorinya, penularan covid bisa berkurang; tapi nyatanya tidak. Sangat mungkin, ini akibat orang-orang ignoran yang ndablek tidak patuh prokes. Mrentala tak saduki wae. Orang-orang egois itulah yang memperpanjang masa pandemi ini. Bukan memperpendeknya.”

“Ditambah produsen-produsen hoaks! Mereka makin memperkeruh suasana. Berantas mereka, kerahkan lebih banyak tim siber, kejar sampai ke lubang tikus sekalipun. Jika tidak, pandemi ini bisa lebih lama dari perkiraan para ahli. Padahal, dengan kondisi sekarang saja, ada dokter ahli yang menyarankan untuk bermasker hingga 4 tahun ke depan. Barulah setelah itu pandemi akan lenyap. Tapi, kalau pandemic fatigue dibiarkan, semua itu tidak akan tercapai. Percaya padaku!”

Dulremek bertingkah seperti orang yang sedang berorasi. Remote televisi dianggapnya sebuah mikrofon. Sebentar dipegang tangan kiri, sebentar kemudian pindah ke tangan kanan, bergantian dengan gerakan tangan yang bergestur . Dia berpidato, mengajak orang lain untuk tetap waspada, dan selalu berdoa kepada Tuhan. Para tetangga hanya menyimaknya.

Dulremek tidak menyadari akan kehadiran perwakilan jamaah “Sinau Urip”. Dia tetap berpidato, tatkala para tamu memasuki rumahnya. Sosok misterius itu masih manjing di dalam dirinya. Dia semakin ngelantur tentang krisis kedelai dan daging—juga tentang proses penyidikan kasus korupsi, ujaran kebencian, kerumunan, dan sebagainya….

Di ruang tamu, para perwakilan jamaah Sinau Urip berkumpul. Hadir pula Kiai Sholeh yang akan membantu mereka untuk merukyah Dulremek. Dulgemuk menyambut mereka dan merundingkan sesuatu. Lalu, Kiai Sholeh, yang juga ahli rukyah itu, memimpin doa para jamaah untuk kesembuhan Dulremek. Khusyu’ sekali mereka berdoa; di luar sana Dulremek masih terdengar berpidato.

Sejurus kemudian, Kiai Sholeh keluar dari ruang tamu dan menghampiri Dulremek. Dipegangnya jidat Dulremek, sambil berkomat-kamit, sesekali dia menyuruh sosok itu pergi dari Dulremek. Ada perlawanan, memang, tetapi Kiai Sholeh terus melancarkan doa-doanya. Dulremek pun jatuh terkapar. Dia berkelejatan beberapa saat, lalu kelihatan lemas.

Dulremek perlahan melihat Dulgemuk dan kawan-kawan yang mengelilinginya. “Mengapa kalian datang ke sini? Ada keributan apa ini?” Yang ditanya hanya saling memandang. Senyum mereka cukuplah menjadi jawabannya.[]

Kabede Gresik, 25-01-2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

Monday, January 25, 2021

Dulgemuk Berbagi (3): HIDUP SEPERTI DAUR ULANG

 Oleh Much. Khoiri

PERWAKILAN jamaah “Sinau Urip” ketemu di rumah Dulgemuk, Minggu malam, di antara gerimis atis. Tadi, sebelum masuk rumah, cek suhu tubuh, cuci tangan—dan basuh wajah. Pakai masker pasti, jaga jarak otomatis. Mereka bukan manusia-manusia ndablek yang ignoran alias cuek pada kesehatan diri dan orang lain. Seperti biasa, pertemuan ditemani suguhan makanan seadanya—kali ini pisang goreng, kopi Solong dari Aceh, dan teh hadiah teman lama yang kini tinggal di Kairo (Mesir).

Tiba-tiba Dulkrempeng menyeletuk, “Musibah kok gak mari-mari ya, Cak? Pandemi sudah hampir setahun. Sampek habis hati saya.” Dia tampak menyeruput kopi dari cangkirnya.

“Banjir bandang juga ada di mana-mana,” sahut Yu Tun, yang duduk di sebelah Dulgemuk. Minumannya sama dengan selera Dulgemuk, yakni teh panas.

“Gempa bumi di Sulawesi Barat,” imbuh Ning Tini, jurnalis warga Metropolis kita.

“Ditambah hoaks yang kejam,” sambung Tacik, wajahnya tampak geregetan.

“Astaghfirullah. Kiamat sudah dekat,” kata Dulremek tak mau kalah.

Sumber gambar: Dokumen Pribadi


Setelah diam sejenak, Dulgemuk angkat bicara: “Kalau ada pandemi tidak kunjung selesai, kalian sah untuk mengeluh begitu? Lalu, banjir bandang, gempa bumi, apa itu membuat kalian putus asa? Juga hoaks, apa itu menyurutkan perlawanan terhadap kemungkaran?”

Mereka saling berpandangan. Tetanaman hias aglonema dan bunga-bunga gantung di teras rumah Dulgemuk ikut menyaksikan. Mereka kurang tahu maksud Duldemuk.

“Dulur, hidup ini kan seperti daur ulang saja,” tegar Dulgemuk, sambil menyeruput teh Mesir, membetulkan letak kacamatanya. Pisang goreng hangat menyapa mulutnya.

“Daur ulang bagaimana, Cak?” tanya Dulkrempeng. Tampak serius dia kini.

“Hidup ini substansinya sama, bentuknya saja yang berbeda.”

“Tentang musibah-musibah ini, maksudnya?”

“Ya semuanya!” tegas Dulgemuk, kali ini pisang gorengnya tinggal telanan terakhir. Setelah menyeruput teh lagi, dia menambahkan, “Semua peristiwa hidup ini susbtansinya sama, bentuknya saja berbeda. Cinta, benci, bahagia, derita, perjuangan—itu hakikatnya sama dalam sebarang zaman, mulai zaman Adam AS hingga sekarang. Tapi, bentuknya saja yang beda.”

“Cinta, misalnya, sudah ada sejak Mbah Adam, mulai cinta yang mahabbah, mawaddah, hingga rahmah. Monumen mereka ada di Jabbal Rahmah, Makkah sana. Mbah Adam, Mbah Ibrahim, mbah-mbah kalian mengalaminya. Kesengsem, berkasihan, dan bersayang laksana saudara itu ada dalam siklus pasangan suami istri. Bedanya hanya perwujudannya. Mbah-mbah kalian mungkin tidak mengungkapkan lewat telpon, bunga atau puisi, pestanya ya tidak seperti sekarang yang buang-buang uang milyaran. Tapi siapa bilang ikatan cinta mereka tidak kokoh?”

Dulgemuk masih melanjutkan: “Musibah juga. Sejak dulu kala ya ada musibah, bencana. Banjir besar pernah terjadi pada zaman Nabi Nuh AS; dan beliau membuat kapal raksana untuk mengangkut kaumnya yang taat. Peperangan? Kalau sekarang perang teknologi, sebelum ini pakai senjata supercanggih, dulu perang itu berhadap-hadapan pakai pedang, sehingga tampak pecahnya dada dan mengalirnya darah.

“Apa lagi? Gempa bumi. Jangan dikira dulu tidak ada gempa bumi. Sekarang saja ada media yang canggih, sehingga terkesan sekarang jumlah bencana lebih banyak. Dulu ya banyak peristiwa gempa bumi, tapi tidak disiarkan. Pada zaman Nabi Luth AS, terjadi likuifaksi yang dahsyat—yakni bumi yang ambles yang menelan kaum homoseks. Para arkeolog sudah membuktikan kebenarannya.”  

Dulgemuk memandang mereka satu-persatu. “Jadi, tidak usah gumun atau panik. Musibah pandemi sekarang ini, dihadirkannya banjir bandang, gempa bumi, jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, dan masih banyak lagi—hanya “alat peraga” Allah dalam mendidik kita bahwa musibah, ujian, memang diberikan Allah kepada manusia. Manusia hidup tidak dibiarkan tanpa ujian. Dengan ujian, akan ketahuan mana manusia mulia, munafik, bajingan…”

Tacik tampil menyela, “Mengapa penyakit makin ‘canggih’ ya, Cak Dul? Dulu penyakit malaria sudah sangat menghebohkan, demikian pula penyakit sampar. Masih ingat novel Albert Camus ‘The Plague’, tentang pandemi sampar itu?”

“Ya karena Allah menguji manusia sesuai dengan kemampuannya,” timpal Dulremek, seakan mewakili Dulgemuk.

Dulgemuk mengacungkan dua jempol. “Saya kira, Mas Remek benar. Allah kan mendidik manusia. Cek QS Al-Alaq 1-5. Dididik berarti diberi pelajaran. Seiring peradaban manusia, penyakit untuk manusia juga makin ‘canggih’. Jika dulu penyakit malaria atau sampar menghebohkan, kini covid-19 pun sama. Namun spiritnya sama: Manusia per zaman dididik untuk menemukan solusi bagi masalah yang dihadapinya. Terbukti, kini sudah beredar vaksin-vaksin untuk corona. Mereka diyakinkan, bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”

“Benar itu, Cak,” sahut Ning Tini, bersemangat. “Saya ingat, ada sipilis gonore sebelum adanya HIV-AIDS. Akhirnya, ada juga ahli yang menemukan obatnya. Demikian pun sekarang, ada covid-19, lalu ditemukan pula vaksinnya. Manusia dididik dengan ujian-ujian. Agar lebih pintar dan bijak dari sebelumnya. Begitu ya, Cak?”

“Tepat sekali!” Dulgemuk, lagi-lagi, mengacungkan jempolnya.

“Hoaks juga makin canggih ya, Cak?” sela Ning Tini. Dia banyak belajar pada Dulgemuk selama ini. “Kalau dulu ada penyihir, pengghibah, pemfitnah, sekarang malah lebih canggih. Bahkan diproduksi secara sengaja, ada konspirasi besar. Praktik politik kental dengan ini. Hoaks, fitnah, pembunuhan karakter diproduksi dan direproduksi lewat media sosial. Mereka sudah tidak takut dosa blas. Andai itu untuk penghasilan, mereka sudah membuta-tuli terhadap uang dari bekerja sebagai produsen hoaks, fitnah dan sebagainya. Begitu kok mengaku ‘hamba’ Allah?”

Dulgemuk mengangguk berkali-kali. Kopi dan teh hampir habis, demikian pun pisang gorengnya sudah pindah tempat, dari piring ke dalam perut. “Surganya makanan itu di dalam perut,” celetuk Dulkrempeng. Dulgemuk, Ning Tini, Tacik, Dulremek, dan Wayan tertawa lepas, melepas kerinduan cangkrukan bersama di kafe Yu Tun. Gerimis atis sudah mulai reda.

Sejenak kemudian, Dulremek perlahan bertutur, “Dari penjelasan Cak Dul dan teman-teman, saya simpulkan bahwa hidup laksana sebuah daur ulang saja. Hidup itu hakikatnya sama antara dulu dan sekarang. Hanya pernik-perniknya yang berbeda dan lebih variatif. Dan semua itu sarana Allah untuk mendidik umat manusia. Termasuk pandemi ini, kita diuji sekaligus dididik untuk menjadi manusia yang kembali ingat pada-Nya.”[]

Kabede Gresik, 24-01-2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

Sunday, January 24, 2021

Dulgemuk Berbagi (2): ANTRIAN TIKET PULANG BUKAN PERGI

Oleh Much. Khoiri 

SALAH satu grup WhatsApp yang diikuti Dulgemuk tidaklah seramai belakangan ini. Menurut amatannya, grup ini memang jadi ramai pada tiga momen: ketika ada anggota yang ulang tahun, ada ucapan selamat karena prestasi atau capaian tertentn, dan berita duka! Hal terakhir inilah yang kini paling ramai dan tinggi tingkat frekwensinya.

“Innalillaahi wainna ilaihi raajiuun. Turut berbela sungkawa atas berpulangnya Saudara X, semoga beliau husnul khatimah. Keluarga yang ditinggalkan semoga dilimpahi ketabahan, kesbaran, dan kekuatan tanpa batas. Aamiin,” begitu biasanya Dulgemuk mengirimkan pesan besa sungkawanya. Dulgemuk sampai punya templet ucapan bela sungkawa, tinggal mengganti nama saja.

Sumber gambar: Dokumen pribadi


Kalau sudah ada berita duka masuk, suara ting-tung-ting-tung bersahutan. Di layar hape terpampang ucapan bela sungkawa dari sekitar 250 anggota grup, ada yang membuat sendiri, ada pula yang copas. Mereka seperti antri bertakziyah kepada anggota keluarga almarhum(ah). Kalau begini situasinya, tidak enak jadinya jika harus berbagi info di grup. Tunggu sampai kondusif.

Maka, tersebab saking kerapnya berita duka masuk ke grupnya, plus belasan grup lain yang diikutinya, Dulgemuk pagi ini mengundang jamaah “Sinau Urip” kecilnya lewat zoom. Selama pandemi ini, mau tak mau dia juga beradaptasi dengan teknologi era disrupsi. Sebab, jika tidak, dia akan jadi manusia purba!

Setelah pembukaan babibu, Dulgemuk langsung tancap gas. “Dulur, kalian tahu, beberapa saudara kita, baik di grup kita maupun di grup-grup sebelah, sudah berpulang mendahului kita. Ada yang memang sudah tua, ada yang masih sangat muda. Berpulang itu pantas bagi siapa pun tanpa memandang usia.”

“Kok berpulang, Cak Dul? Bukankah mati itu pergi?” Dulkrempeng menyela. Tampak dia membetulkan letak pecinya. Kepalanya kecil, jadi topinya oblong-oblong, kegedean.

“Lha iya, pulang ke mana?” tambah Yu Tun. Wajahnya ayu menenteramkan. “Apakah langsung ke surga atau neraka, Cak Dul?” Di background-nya tampak poster-poster artis dalam dan luar negeri yang sedang memamerkan gaya minum kopi. Maklum, Yu Tun juragan kafe aneka kopi yang sukses, satu di Batu dan satu di sebuah perumahan elit di Surabaya.

“Dik Krempeng, Dik Tun, dan semuanya saja,” kata Dulgemuk, meyakinkan. “Begini ya, mati itu bukan pergi, melainkan pulang. Lha wong yang melakoni, subjeknya, adalah orang yang mati, jadi sudut pandangnya ya dari dia. Itu bukan pergi, hanya pulang saja. Pulang ke mana? Pulang ke kampung akhirat. Nah, dari sudut pandang kalian, dia itu pergi, ya pergi dari kalian. Tapi sekali lagi, dia itu pulang ke kampung akhiratnya.”

Dia melanjutkan: “Manusia itu warga kampung ‘langit’ yang mengembara di bumi, bersekolah dan belajar di bumi, menjalani siklus hidup mereka masing-masing—ada yang komplit dalam waktu lama, ada yang baru sebagian saja dalam waktu pendek. Semua sudah ditentukan! Setiap manusia memiliki kisahnya sendiri-sendiri, sebab misi dan tugas pengembaraan setiap manusia juga berbeda-beda. Nah, setelah selesai dengan tugas yang harus ditunaikan, pulanglah mereka karena ada panggilan yang tak bisa ditunda.”

“Langsung ke kampung mereka, Cak Dul?” tanya Ning Tini, penasaran. Ning Tini adalah anggota jamaah Dulgemuk yang menjadi citizen journalist untuk Metropolitan Surabaya. Dia tinggal di kawasan Wiyung, tempat yang dipilihnya karena dekat sebarang kebutuhan hidup.

“Transit dulu, mampir dulu, di alam barzah. Inilah alam tempat kita sesudah berpulang, menunggu terjadinya Kiamat Kubra, kiamat besar. Ini tempat di mana kakek-nenek moyang kita berada. Konon, kehidupan kita di alam transit ini banyak bergantung pada amal kita selama hidup di dunia—selama mengembara di atas bumi. Jika banyak kebaikan yang kita amalkan, maka di alam barzah itu kita akan tenteram dalam peristirahatan. Bahkan, kakek-nenek moyang kita amat mungkin menjemput dan menemui kita di sana.”

Lalu, Dulgemuk menegaskan penjelasannya. “Jadi, saudara-saudara kita itu telah memenuhi antrian pulang! Tiket pulang! Lha tiket antrian itu tiba kepada mereka karena Allah menentukan, entah akibat sakit covid, entah tanpa sebab apa pun, mereka harus pulang. Covid itu hanya perantara saja. Sementara, kita yang ditinggal, tentu bersedih, namun jangan berlarut-larut dan tenggelam dalam kesedihan. Sebab, kita tidak tahu, apakah hidup saudara kita malah lebih mulia justru ketika pulang ke kampungnya.”

“Sebaliknya, bagi kita yang belum menerima tiket pulang, inilah momentum terbaik untuk menimbang diri, apakah kita sudah punya bekal cukup untuk perjalanan pulang ke kampung halaman. Sebuah perjalanan panjang sekali. Baru dalam perjalanan saja, jika kita tidak punya bekal cukup, kita bisa kelaparan dan kehausan. Apa lagi nanti, kalau kita sudah berada di pintu gerbang kampung kita, kita akan dihisab satu-persatu, pantas tidaknya untuk langsung masuk ke kampung surga.”

Peserta pengajian daring begitu sunyi. Biasanya terdengar teriakan penjual bakso asal Malang, atau suara penjual sate asal Madura itu. Kini hening! Tidak ada lagi yang berani berkomentar. Antara perasaan takut, ngeri, menangis, dan campur aduk perasaan lain, mereka hanya diam terpaku—dan perlahan air mata bergulir di pipi masing-masing. Ibuk-ibuk tampak mengelap matanya dengan tisu. Dulkrempeng, Dulremek, Matkoplak cukup pakai sarung.

Kini Dulgemuk juga terdengar sesenggukan. Beberapa saat lamanya. Kemudian, dia pun share-screen, dan mengajak jamaahnya untuk memperhatikannya.


MENIMBANG DIRI

Puisi Much. Khoiri

 

Cermin mana lagi yang kaupakai pagi ini

Untuk sekadar menimbang-nimbang Diri

Tak usah jauh. Kemarilah, duduklah di sini.

Mari simak kisah-kisah hikmah para Perawi.

 

Firaun yang perkasa menundukkan dunia

Menuhankan diri dan bergada kebengisan

Ternyata, keperkasaan itu takluk oleh usia

Yang tersisa mumi yang memancing amarah

Dan serapah anak manusia yang menyaksikan.

 

Lihatlah Karun yang dulu begitu kaya raya

Yang kunci gudangnya sepikul lelaki pekerja.

Namun, apakah yang pernah ditinggalkannya?

Tidak ada!, kecuali kisah pilu manusia serakah

Yang lupa asal-usulnya dan tujuan mengarah.

 

Ayo hayatilah kisah Nabi Sulaiman, raja salih dermawan

Menjadi kesatria di siang hari dan rahib di waktu malam.

Simaklah kisah para pembangun thareqat yang mulia:

Muhammad Bahauddin Al-Naqsyabandi, Abdul Qadir Jaelani,

Abul Hasan Ali Al-Syazili, Abu Ahmad Abdal Al-Jasti,

Abdul Qadir Al-Suhrawardi, Jalaluddin Al-Rumi,

Najamuddin Ahmad Al-Kubra, Al-Qadhi Al-Syatari,

Muhyidin Ibnu Arabi, atau Al-Rifa’i Al-Hussaini.

Juga para pencari Tuhan yang telah menyucikan jiwa

Sepanjang perjalanan usia tanpa sepatah keluh kesah.

 

Ayolah segera temukan kelemahan, kehinaan,

Kefanaan, kebodohan dan keterbatasan insan

Agar mengenal Tuhan dengan segala kemuliaan

Kekuasaan, kemahatahuan, dan kebaqaan-Nya.

Jadilah musyafir jiwa yang mencapai tujuannya.

 

Lalu, tatkala waktu senjamu akhirnya tiba

Rayakanlah kemenangan jiwa yang gemilang

Menyambut husnul khatimah saat tutup usia

Dan ridha menghuni rumah jiwa muthmainah 

Yang dengan-Nya ada persuaan teramat mesra.


Di ujung pertemuan, Dulgemuk berwasiat: “Dulur-dulur, mari resapi puisi tersebut. Kita petik hikmahnya. Kita siapkan diri sebaik-baiknya sebelum tiket pulang diberikan kepada kita. Jangan sampai ketika saat itu tiba, kita belum punya persiapan apa pun jua. Sekali lagi, pastikan kita kembali pulang dalam keadaan ridha dan diridhai oleh-Nya. Insyallah.”[]

Kabede Gresik, 23-01-2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

 

Saturday, January 23, 2021

Dulgemuk Berbagi (1): JALANI HIDUP DENGAN IKHLAS

 Oleh Much. Khoiri

“Kamu harus memahami hidup secara keseluruhan, bukan hanya satu bagian kecil saja. Itu sebabnya kamu harus membaca, itu sebabnya kamu harus memandangi langit, itu sebabnya kamu harus bernyanyi, menari, dan menulis puisi. Kamu harus mau menderita dan mengerti, karena semua itu adalah hidup.” (Quote of the Day, emcho)

Tatkala Dulgemuk duduk memandangi tanaman aglonema dan bunga-bunga gantung yang memenuhi teras rumahnya, kutipan tersebut telah menamparnya. Meski dia selama ini telah berupaya keras untuk menjadi manusia yang selalu berpasrah kepada Allah, kutipan Pak Dosen itu benar-benar membuat sesak napas. “Kamu harus memahami hidup secara keseluruhan, bukan hanya satu bagian kecil saja.” Berarti aku belum menerima hidup secara kaffah, bathin Dulgemuk.

Ya, Dulgemuk tertampar Pak Dosen karena belum ajeg membaca (dalam arti luas). Membaca diri sendiri, buku, surat kabar, majalah, hidup serta pengalaman manusia lain. Belum utuh (kaffah), masih amatiran. Karena belum rajin membaca, Dulgemuk merasa berdosa, sebab Iqra itu kewajiban membaca yang diturunkan Allah untuk ummat manusia. Membaca memperluas wawasan, menambah kedalaman pemahaman. Tamparan Pak Dosen wajib diikuti dengan tindak-lanjut; membaca tak bisa ditawar lagi.

Sumber gambar: Dokumen Pribadi


Memandangi langit menurut Pak Dosen di sini tentu bukan bermakna harafiah (literal, denotatif). Jika harafiah saja, Dulgemuk pastilah sering melihat langit, terlebih di musim hujan di masa pandemi begini. Dia kerap melihat langit tatkala mendung tak kunjung tersibak mentari, dan deras hujan sering hadir tiba-tiba. Di mata Dulgemuk, langit hanya hamparan teramat luas tak berbatas yang titik ufuk-ufuknya hanya bisa dilihat dari tempat ketinggian.

Pastilah itu mesti dimaknai secara konotatif. Memandangi langit, melihat langit, adalah membaca (iqra) terhadap keluasan dan ketinggian makhluk ciptaan Allah, yang begitu taat menjalankan amanah-Nya untuk menaungi bumi dari panasnya matahari. Dulgemuk harus membaca, mengkaji dan memahami bahwa ciptaan Allah saja begitu luar biasa, maka bagaimana Sang Maha Pencipta? Allahu Akbar, begitu kecil dan tak berdaya Dulgemuk saat ini.

Kemudian, “kamu harus bernyanyi, menari”. Ini juga bukan arti harafiah. Sebab, jika diharafiahkan, Dulgemuk juga ketawa sendiri, sebab selama ini dia hanya menyanyi di dalam kamar mandi—tak sekali pun menyanyi untuk pesta atau acara hiburan! Menari? Sama saja! Waktu dia kecil sih pernah main drama dan menari bersama di panggung perpisahan SD, namun setelah itu stop sudah. Terlebih, sejak dia berguru mengaji pada ustadz yang tidak suka seni, maka “minat” kecil menari Dulgemuk ikut amblas sudah.

Maka, Dulgemuk memaknai “bernyanyi dan menari” itu sebagai simbol kebahagiaan. Maksudnya, teriakkan ke dalam hati sanubari untuk selalu bahagia. Kebahagiaan penting, dan sejatinya ia sederhana wujudnya, yang penting bersumber dari hati. Bukan di puncak gunung atau di hamparan lembah. Maka, selalu bahagiakan hati, dengan membawa segala urusan kepada-Nya. Itu dzikir namanya. Alaa bidzikrillah tathma’innul quluub, berdzikir kepada Allah itu membuat hati tenang dan tenteram.

Tentang bahagia ini, Dulgemuk memang telah mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari—meski belum seutuhnya. Maklum, Dulgemuk juga manusia, sama dengan politisi, pejabat pemerintah, Pak Dosen, dan seluruh tetangga dan teman-temannya. Namun, tersenyum dan menebarkan senyum dan salam adalah bagian hidupnya selama ini. Senyum itu ibadah, apalagi menyenyumkan sesama. Orang-orang yang mengenalnya juga mengakuinya.

Tentu saja, ada bahagia, ada sedih. Bahagia harus disyukuri, kesedihan jangan dikeluhkan dan dicaci-maki. “Ambil hikmahnya saja,” batin Dulgemuk. Jika orang diuji dengan kesedihan, orang itu harus mengambil hikmahnya: bahwa ujian itu justru mendekatkan manusia kepada Allah. Dengan ujian sedih, dia akan banyak berdoa untuk memohon solusi bagi masalah yang dihadapinya. Jika pintar memetik hikmah, sedih dan bahagia itu tak jauh beda—semua ujian dari Allah.

Satu lagi, menulis puisi. Kalau ini sebenarnya tidak menampar Dulgemuk, justru mengapresiasinya. “Menulis puisi” di sini dimaknai sebagai menulis tentang kebaikan, keindahan, yang disebarkan kepada masyarakat—lewat berbagai media dan forum. Hobinya memang menulis, yakni menulis kebaikan, baik berupa artikel untuk media sosial maupun untuk blog, website Jalindo, dan buku-bukunya. Jadi, plong rasanya, Pak Dosen tidak mengulik-ulik hobinya ini.

Intinya, Dulgemuk, merasa bahwa ada kekurangan baginya dalam menjalani hidup ini. Kurang ikhlas menerima apa adanya. Dalam setahun, dia lebih lama sehatnya, namun kadang mengeluh ketika diuji dengan sakit meski hanya dua minggu atau satu bulan. Maunya sehat terus, maunya bahagia terus—itu egois namanya. Padahal seharusnya tidak begitu. Dulgemuk menyadarinya sekarang.

Tap pelak lagi, hidup harus dijalani dengan ikhlas dan ridha. Setelah merenung di beranda rumah yang penuh tanaman hias aglonema itu, Dulgemuk menegaskan keyakinannya di dalam hati: “Saya harus lebih ikhlas dan ridha menerima apa yang ditentukan Allah. Raadhiyatan mardhiyyah, saya ridha dulu, baru mengharapkan ridha-Nya. Ridha sedih-bahagia, dan selebihnya serahkan kepada-Nya.”[]

Kabede Gresik, 22-01-2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

Thursday, January 21, 2021

WANITA, TAS, DAN IDENTITAS

Oleh MUCH. KHOIRI (Dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, penulis buku dari Unesa Surabaya)


Inilah saatnya saya mengajak Anda untuk menelisik adakah hubungan tertentu antara wanita, tas, dan identitas? Tidak diragukan lagi: Ada! Wanita sangat dekat tak terpisahkan dengan tas, sementara tas itu merepresentasikan identitas pemakainya.

Saking dekatnya, di mana ada wanita, di situ pula ada tasnya. Dalam perspektif Eksistensialisme, kehadiran tas itu membuat wanita eksis alias ada. Ibaratnya, "Aku pakai tas ini, maka aku ada." Hampir tak pernah didapati wanita datang ke suatu acara tanpa terlihat tas di tangan. Apapun isinya, tas itu wajib 'ain adanya.

Sumber gambar: Grid.id

Lalu, bagaimana tas menunjukkan identitas pemakainya? Itu ketika individu pemakai dan komunitas (atau masyarakat) menganggap bahwa tas itu simbol prestise, sombol status, dan simbol gaya hidup. Saat membeli tas, seakan dia telah membeli prestise, status, dan simbol itu sendiri; sedangkan fungsi dasarnya diabaikan dan tidak penting lagi.

Simbol-simbol prestise, status, dan gaya hidup bertebaran di mal-mal atau pasar modern. Mal sendiri simbol modernitas. Karena itu, marketer memasang aitem-aitem nya di mal dan bukan di pasar tradisional. Mereka paham, kastamer kelas sosial tertentu akan berbelanja tas di pasar yang "pantas" dan "pas" guna memuaskan hasrat konsumtifnya. Malu dong harus menawar harga barang seperti terjadi  di pasar tradisional. Gak level, tau ga sih?

Dengan berbelanja tas di mal besar yang prestisius, wanita ini sedang mengidentifikasi diri pada identitas personal dan sosial sedang atau tinggi. Singkatnya, bukan orang sembarangan. Jika wanita itu mengenakan tas Hermes, dengan harga 1,5 milyar misalnya, dia menilai dirinya sebagai orang berduit dan wah. Orang lain  pun tidak mengecapnya miskin atau kampungan ketika dia mengenakan tas merek Louve Paris, London Berry, Alibi,Gatsuone, Lexalin, Philipe Jourdan, Leno, Dilvarrie, Gucci, dan masih banyak lagi.

Sebaliknya, jika ada wanita mengenakan tas non-branded, segera ketahuan bahwa dia bukan wanita yang cukup kaya dan punya selera. Selera juga bisa menjadi penanda status, bukan? Lalu, apakah reaksi sesama wanita yang hadir dalam acara di mana ada wanita berpenampilan sederhana dengan tas tangan yang "murahan"? Sssst! Jangan keras-keras. Mereka asyik menggosip, ngrasani atau menggunjingnya di belakang panggung. Tak jarang mereka melancarkan bullying.

Memang, secara spiritual sebaik-baik manusia di mata Tuhan karena takwanya, namun secara fisikal wanita bisa dianggap berharga karena berbagai kategori tas cukup mahal miliknya: dompet unik, clutches, tote bags, shoulder bag, hand bags, saling bags, backpacks, satchel bags, serta aitem lain. Yang tidak pakai barang branded, minggir sajalah sejenak.

Ingat, dalam komodifikasi budaya oleh industri budaya secara masif, plus dukungan media yang tanpa henti, si artifisial bisa lebih dipuja ketimbang alamiah, profan bisa lebih memikat ketimbang sakral, kecantikan fisik lebih dipilih ketimbang inner beauty, dan tas (kelihatan) bermerek ketimbang tas tembakan (produk industri rumah). Realitas semu berjaya laksana penguasa.

Maka, ke manakah kita perlu berguru lagi, untuk menjawab pertanyaan: setelah kepuasan tercapai dengan terpenuhinya hasrat memakai tas branded, lalu keinginan apa lagi selanjutnya? Identitas apa lagi yang hendak diperjuangkan? Saya curiga, hasrat konsumtif ibarat minum air laut, semakin banyak meminumnya, manusia semakin kehausan, tanpa kepuasan di dalamnya.[]

Driyorejo, 20.01.1721

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts